Rabu, 16 Juni 2010

KETIKA SEL HIDUP MENJADI OBAT

KETIKA SEL HIDUP MENJADI OBAT

SIMPOSIA - Edisi Agustus 2006 (Vol.6 No.1)
Produk biosimilar yang merupakan generic pharmaceutical di satu sisi menguntungkan karena harga yang lebih terjangkau, namun di sisi lain perlu diperhatikan aspek kualitas yang berpengaruh terhadap efikasi dan keamanannya.

Produk biopharmaceutical merupakan salah satu obat yang dibutuhkan dalam dunia kesehatan. Kebanyakan jenis produk ini diindikasikan untuk pengobatan atau pencegahan kondisi klinik yang serius. Oleh karenanya, pasien dengan kondisi klinik tertentu sangat membutuhkan obat-obatan ini yang umumnya memiliki harga yang sangat mahal.

Ditilik dari proses pembuatannya, produk biopharmaceutical memiliki tahapan proses dan sumber bahan baku yang tidak sama dengan obat-obatan lain. Produk biologi ini memerlukan peran makhluk hidup lain hingga sampai ke produk jadi. Biopharmaceutical ini dibuat dengan cara ‘memanen’ (harvesting) produk protein tertentu yang dihasilkan oleh sekumpulan sel hidup yang berupa bakteri atau sel eukariotik. Ke dalam susunan DNA sel hidup tersebut disisipkan DNA yang akan mengkode sintesis protein tertentu. “Biopharmaceutical didefinisikan sebagai produk farmasi yang mengandung glikoprotein dan/atau asam nukleat,” kata Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK dalam acara The 6th Annual Scientific Meeting on Pharmacology and Therapy, di Jakarta 21 Juli lalu.

Saat ini, masa paten dari beberapa produk biopharmaceutical telah habis, dan dengan demikian akan bermunculan produk identik yang merupakan generic produk atau follow-on biologics, atau lazim disebut biosimilar. Dengan dibolehkannya perusahaan lain membuat copy biopharmaceutical akan membuat harga produk biologi ini menjadi lebih terjangkau khususnya bagi pasien yang memiliki daya beli terbatas. Tapi, di sisi lain, perlu diperhatikan aspek kualitas yang berpengaruh terhadap efikasi dan aspek keamanannya.

Untuk memastikan kualitas produk biologi, sangat berbeda dengan produk generic obat biasa yang memiliki berat molekul rendah. Sebagai gambaran, berat molekul obat generic paracetamol adalah 151 gram/mol. Sedangkan salah satu produk biologi yaitu epoetin alfa, yang digunakan untuk memproduksi sel darah merah pada pasien gagal ginjal, memiliki berat molekul 30.000 gram/mol. Pada obat generic biasa yang memiliki berat molekul rendah tersebut, uji kualitas dapat diperoleh dengan hasil akurat dengan melakukan studi bioavailabilitas/bioekivalensi (studi BA/BE). Produk obat biasa disintesis dengan menggunakan sejumlah reagen dalam sebuah rangkaian reaksi kimia organic. Untuk obat seperti parasetamol, tidak sulit bagi produsennya untuk secara konsisten membuat produk dengan kemurnian di atas 98 persen.

Produk biologi strukturnya tidak sestabil obat generic biasa dan memerlukan penanganan yang lebih cermat dari produk farmasi lain karena proses pembuatan yang tidak ‘biasa’ tersebut.

Rianto mengatakan, untuk membuat produk biologi, pertama harus menentukan dulu host cell yang tepat, lalu membuat cell bank, untuk kemudian menghasilkan protein yang diperlukan. Setelah itu, protein tersebut akan melewati proses purifikasi, analisa, dan formulasi. Storage dan handling merupakan proses akhir yang perlu dilakukan dengan cermat.

Beberapa potensi permasalahan terkait dengan sifat produk biologi dan proses pembuatannya. Protein yang dipanen dari sel hidup, tidak terdapat dalam bentuk murni, tapi terkontaminasi dengan berbagai protein dan produk-produk lain dari sel misalnya asam lemak, gula, trigliserid, asam amino, serum, dan hormone. Untuk memperoleh produk yang kualitasnya baik, protein yang diinginkan harus dibersihkan dari berbagai kontaminannya. Metode yang berbeda-beda dalam rangkaian proses pembuatan dan pemurnian yang kompeks mempengaruhi keamanan dan efektivitas produk protein yang dihasilkan.

Selain itu, produk biologi dibentuk dari asam amino dan berbagai molekul gula yang membentuk struktur 3 dimensi yang berasal dari struktur sekunder dan tersier. Struktur 3 dimensi ini distabilkan oleh ikatan-ikatan kimia yang lemah dan mudah rusak bila ditangani secara tidak hati-hati atau disimpan dalam suhu yang tidak sesuai. Kerusakan ini terjadi karena denaturasi protein dan pembentukan agregat.

Proses pembuatan protein yang berbeda-beda, dapat mengakibatkan terjadinya proses glikosilasi yang tidak selalu terjadi pada posisi yang sama dan mengakibatkan tebentuknya isoform. Aktivitas biologic dari sebuah protein tergantung interaksi protein tesebut dengan reseptornya. Beberapa factor yang mempengaruhi misalnya presisi struktur 3 dimensi, derajat dan lokasi glikosilasi, serta agregasinya.

Bangkitkan Faktor Imun
Masalah lain yang membedakan penggunaan biopharmaceutical dengan obat biasa adalah kemampuannya membangkitkan factor imun. Meski kebanyakan produk biopharmaceutical, pembentukan antibody tidak menimbulkan konsekuensi klinik, namun terkadang dapat timbul alergi, reaksi anafilaksis, serum sickness, dan netralisasi protein endogen. “Timbulnya imunogenisitas ini umumnya sangat bervariasi dan tidak dapat diramalkan,” ujar Rianto.

Rianto memaparkan timbulnya factor imugenisitas berasal dari factor manusia dan produk. Faktor dari manusia yang diduga berperan dalam mempengaruhi imugenisitas adalah cara pemberian obat, yang saat ini pemberian intravena dianggap paling aman dan subkutan adalah yang paling bahaya. Faktor lain adalah dosis dan lama pemberian, adanya penekanan terhadap respon imun, dan defisiensi congenital protein endogen.

Sedangkan factor produk yang berperan dalam mempengaruhi timbulnya imunogenisitas adalah variasi sekuens primer produk protein, tidak terjadinya glikosilasi pada produk protein yang dihasilkan, hiperglikosilasi produk yang dihasilkan sel eukariotik, kontaminan, formulasi, serta penanganan dan penyimpanan produk.

Evaluasi sebelum Edar
Dra. Lucky S. Slamet, Apt dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) selaku pihak yang berwenang untuk menentukan beredar atau tidaknya sebuah produk farmasi di Indonesia, mengatakan bahwa saat ini pendaftaran produk biologi ke Indonesia meningkat dalam bentuk parallel submission bersamaan dengan pendaftaran ke negara-negara maju. Produk-produk biologi tersebut adalah vaksin dan produk rekombinan seperti cytokines, growth factor, clotting factor, growth hormones, enzymes, monoclonal antibodies dan oligonucleotides.

Untuk produk yang didaftarkan ke Indonesia, harus dilakukan evaluasi terhadap dokumen ilmiah obat untuk menjamin keamanan, efikasi, dan kualitas produk tersebut sebelum dipasarkan. Salah satu isu strategis adalah meski berasal dari Eropa, maka pihak Uni Eropa tidak dapat memberikan persetujuan pemasaran walaupun diproduksi oleh produsen yang berlokasi di wilayah tersebut, jika produk tidak dipasarkan di sana. Hingga, Negara tujuan pemasaran termasuk Indonesia harus melakukan evaluasi sendiri terhadap produk tersebut.

Standar evaluasi produk biologi, kata Lucky, baik terhadap data klinis maupun data mutu, mengacu pada standar WHO dan pedoman internasional lainnya. Saat ini, lanjut Lucky, telah ada harmonisasi evaluasi obat di Negara-negara ASEAN, dan Indonesia turut aktif dalam pembentukan framework tersebut. Indonesia secara aktif juga ikut berpartisipasi dalam penyusunan pedoman standar produk biologi yang dilakukan WHO.

“Secara umum, prosedur evaluasi produk biologi mengikuti prosedur evaluasi produk obat dengan kandungan bahan kimia yang meliputi evaluasi terhadap data non klinik dan uji pada hewan, data klinik, dan data mutu,” ujar Lucky.

Namun ada hal-hal khusus yang dibutuhkan dalam evaluasi produk biologi, antara lain apakah data uji pada hewan dapat diperoleh apabila tidak ada animal model yang tepat, dan bagaimana diperoleh data non-klinik yang akurat. Selain itu, harus diperhatikan metodologi dan parameter endpoint untuk uji klinik yang bermakna, serta evaluasi kualitas sebuah produk biologi tidak hanya dilakukan pada produk akhir tapi harus ada data jaminan kualitas yang menyeluruh mulai dari bahan awal.

Lucky mengatakan, untuk produk biosimilar yang telah mendapatkan ijin edar, akan dilakukan post marketing surveillance, yaitu kegiatan pengawasan terhadap produk sesudah mendapat ijin edar. “Pengawasan ini sudah dilakukan terhadap mutu secara mandatory, tapi untuk safety masih bersifat voluntary,” ujar Lucky. Unsur safety itu menurut Lucky jika terjadi efek samping pada pengguna, diharapkan dokter atau pharmacist memberitahukan kepada BPOM. Ke depannya, menurut Lucky, hal yang bersifat voluntary itu akan diperketat, terutama untuk produk yang memiliki risiko tinggi antara lain untuk produk biosimilar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar